-
-
31 Oktober 2024 5:00 pm

Mulai Berinvestasi part #3

Mulai Berinvestasi part #3
Bayangkan saja tiba-tiba tetangga anda sedang butuh uang dan menawarkan rumahnya kepada anda dengan harga Rp 200 juta. Padahal anda tahu betul bahwa seharusnya harga rumah tetangga anda harganya bisa Rp 1 miliar atau bahkan lebih. Jika pada saat itu anda memang sedang ada uang lebih apa yang akan anda lakukan? Tentu anda dengan senang hati akan membelinya!

-

Hal ini dikarenakan harga (price) rumah yang ditawarkan lebih rendah dari harga wajar atau nilai (value) sehingga bisa dikatakan rumah tersebut sedang undervalued. Lain cerita jika rumah tersebut ditawarkan dengan harga Rp 1 miliar atau fairly valued, anda tidak akan terlalu antusias atau mungkin masih akan membelinya bila anda memang sedang butuh tempat tinggal. Lalu bagaimana jika rumah tersebut ditawarkan dengan harga Rp 2 miliar (overvalued)? Jelas anda tidak akan tertarik dan akan mencari alternatif rumah lain untuk dibeli. Dari sini kita bisa memahami bahwa price dan value adalah dua hal yang berbeda.

"Price is what you pay. Value is what you get" – Warren Buffett


Untuk memaksimalkan kekayaan kita, tugas kita adalah memastikan bahwa kita tidak membayar lebih dari nilai yang kita peroleh. Tanpa kita sadari, sebenarnya mungkin kita sudah melakukannya setiap hari seperti:
  1. Kita akan memilih membeli sabun / shampo di toko yang memberikan harga terbaik
  2. Anda lebih semangat membeli baju saat ada diskon
  3. Anda hanya makan di tempat makan yang harganya “masuk akal”
Jika kita bisa selektif dalam memilih di mana dan bagaimana membelanjakan uang harian yang jumlahnya relatif kecil, maka sudah sewajarnya kita juga selektif dalam menginvestasikan kekayaan kita yang nilainya lebih besar. Pertanyaannya, bagaimana cara kita untuk menentukan value dari sebuah perusahaan?

"I am a better investor because I am a businessman and a better businessman because I am an investor" – Warren Buffett


Back to basic, sebenarnya membeli saham sama dengan membeli bisnis. Sebagai contoh, bila kita ditawari untuk membeli suatu franchise, salah satu pertanyaan yang langsung muncul adalah “berapa lama bisnis ini akan balik modal (BEP / Break Event Point)?”. Jika bisnis yang akan kita beli adalah bisnis yang siklus pasang surutnya sangat cepat mengikuti hype para konsumen (contoh: snack atau minuman yang sedang hype), tentu kita akan meminta BEP yang sangat singkat. Jika snack/minuman yang sedang hype tersebut kita perkirakan hanya berlangsung dalam 2 tahun, maka kita harus balik modal sebelum 2 tahun. Ini sudah jelas, karena dalam berbisnis tentu saja kita tidak mau rugi.

Lain halnya jika bisnisnya adalah distribusi kendaraan bermotor, minimarket, air isi ulang, laundry atau makanan sehari-hari. Bisnis seperti ini cenderung stabil dan tidak dimakan zaman. Sebut saja bisnis ini akan kalah saing karena pesaing baru akan masuk dalam 10 tahun ke depan. Dengan demikian, tentu kita ingin perusahaan ini balik modal sebelum 10 tahun. Kalau bisa ya 5 tahun saja. Tetapi dari sini, teman2 bisa memahami bahwa bisnis yang hype, biasa orang hanya menghargainya setara 2 x laba (2 tahun laba), sementara bisnis yang lebih stabil dan tidak dimakan zaman, bisa dihargai 10 x laba (10 tahun laba).

Balik lagi ke bisnis franchise minuman yang lagi hype. Jika laba bersih tiap tahun adalah Rp 100 juta, mungkin anda hanya mau membeli franchise tersebut di bawah harga Rp 200 juta. Angka Rp 200 juta ini didapatkan dari Rp 100 juta x BEP, dimana BEP yang kita minta paling lama adalah 2 tahun. Atau jika bisnis air isi ulang, mungkin anda berani beli di BEP 7 tahun, sehingga jika laba bersih per tahunnya sama2 Rp 100 juta, bisnis air isi ulang ini berani anda beli Rp 700 juta.

Angka BEP ini di saham kita namakan sebagai PER (Price to Earning Ratio). Semakin tinggi PER, semakin lama pula anda BEP. Semakin beresiko suatu bisnis, maka anda harus memberi PER yang semakin rendah untuk memastikan bisnis anda jauh lebih cepat balik modalnya.

Jika di bisnis biasa, anda bisa membeli bisnis dengan formula “laba bersih x BEP” maka di saham, anda bisa menggunakan formula yang serupa. Tinggal anda ganti “laba bersih” dengan EPS (alias earning per share) dan BEP anda ganti dengan PER. Dengan demikian, anda akan mendapatkan formula: fair price = EPS x PER.

Lalu, berapakah PER wajar yang seharusnya kita minta bagi suatu perusahaan? Pemikiran kami lagi-lagi back to basic, “ngapain kita susah-susah bikin usaha kalau hasilnya tidak lebih dari taruh uang di obligasi pemerintah yang risikonya sangat minim dan kita hanya cukup duduk manis menunggu hasilnya”. Rata-rata obligasi pemerintah dengan tenor 10 tahun memberikan return nett sebesar 6%/tahunnya. Pertanyaannya simpel, ini setara dengan berapa tahun balik modal?

Jika anda taruh uang Rp 1 Miliar di obligasi, mungkin anda bisa mendapatkan Rp 60 juta dari kupon (bunga) tiap tahunnya. Pertanyaannya, berapa tahun agar Rp 60 juta yang anda dapatkan ini menjadi Rp 1 Miliar (setara modal anda)? Jika anda ambil kalkulator, maka anda tinggal bagi 1 miliar dengan 60 juta. Anda akan mendapatkan angka 16,7. Ini adalah lamanya agar kupon (bunga) obligasi bisa setara dengan modal yang anda setor. Jika anda ingat pada beberapa paragraf di atas, angka ini disebut BEP (di bisnis) dan PER (di saham). Dengan kata lain, BEP (atau PER) obligasi adalah 16,7x. Angka ini biasa saya bulatkan ke bawah menjadi 16x.

-

Sekarang balik ke logika berpikir tadi “ngapain susah2 berbisnis jika BEP nya lebih lama dari obligasi yang tidak ada resiko?”. Dengan demikian, kita telah mencapai kesepakatan menilai kebanyakan perusahaan memiliki PER wajar di bawah 16x kecuali perusahaan tersebut memiliki kualitas yang sangat bagus. Untuk saat ini, angka PER 16x menjadi benchmark kita dalam menentukan sebuah saham mahal atau tidak. Tetapi berapa tepatnya? Apakah 15 murah? 10? Atau 3?

Bisa dibilang bahwa menetapkan PER wajar untuk suatu perusahaan itu cukup rumit karena banyak faktor yang menjadi pertimbangan dan juga bisa terpengaruh oleh subjektifitas tiap investor. Untuk membahasnya, mungkin butuh waktu 1-2 jam dan tentu tidak cukup jika kami tuangkan dalam artikel ini. Kami hanya bisa memberikan gambaran besar yang mungkin bisa anda gunakan sebagai acuan, sebagai berikut:

  1. Untuk perusahaan komoditas seperti batubara yang bersifat cyclical (business model pasang-surut), kami memberikan PER wajar tidak lebih dari 8x rata-rata earning karena ada masa laba bersih perusahaan sangat tinggi dan ada juga masa laba bersih perusahaan sangat rendah.
  2. Untuk perusahaan consumer good yang produknya dibutuhkan banyak orang tapi pertumbuhannya kurang lebih setara dengan GDP (potensi pertumbuhan baik tapi tidak terlalu tinggi), kami memberikan PER wajar di atas 8x namun masih di bawah 16x.
  3. Untuk bank yang wonderful dengan business model yang tahan banting, management kompeten, pertumbuhan di atas rata-rata industri dan kualitas aset selalu terjaga seperti BBCA, tentu kami berani memberikan PER wajar di atas 16x.

Perlu diingat ketika kita sudah mengetahui harga wajar suatu perusahaan, bukan berarti kita mau melakukan pembelian pada harga tersebut. Tentunya kita akan membeli sahamnya ketika kita mendapatkan diskon atau margin of safety (MOS). Konsep MOS ini tidak hanya untuk memastikan kita memperoleh keuntungan tetapi juga berjaga-jaga jika terjadi sesuatu di luar ekspektasi kita, entah karena kesalahan kita ataupun karena adanya faktor eksternal yang membuat kinerja perusahaan tidak sebaik perkiraan kita.

Konsep MOS ini bisa diumpamakan seperti jika kita kita memiliki jembatan dengan kapasitas maksimal 20 ton, maka bukan berarti kita akan memperbolehkan jembatan ini dilewati oleh truk 20 ton atau 19 ton. Mungkin kita akan mengatur bahwa beban maksimum yang boleh dilewati adalah 15 atau bahkan 10 ton. Demikian pula dengan investasi saham, kami jelas tidak akan membeli saham yang harga wajarnya Rp 1.000 / lembar di harga Rp 975 / lembar karena jelas MOS’nya terlalu kecil. Setidaknya kami meminta MOS sebesar 30% baru kita mau melakukan pembelian. Sehingga bila kita meyakini harga wajar suatu saham adalah Rp 1.000 / lembar, maka kita baru akan melakukan pembelian di harga Rp 700 / lembar.

Entry Price = Fair Price X (1 – MOS)

= 1.000 X (1 – 30%)

= Rp 700 / lembar


Konsep MOS ini juga menunjukan semakin besar MOS yang kita punya maka risiko investasi kita akan menjadi semakin minim. Selain itu, bila harga saham kita ternyata bisa kembali ke harga wajarnya, tentu potensi return kita akan semakin tinggi pula. Lucunya, hal ini sangat berbeda dengan jargon “high risk high return” yang selama ini dipercaya oleh banyak orang. Yang benar adalah Low Risk = High Return dan High Risk = Low Return.

Setelah mempelajari strategi valuasi dan MOS dalam artikel ini, tentu kita akan mulai bertanya “berapa banyak return yang bisa kita dapatkan dengan menerapkan value investing?” Pertanyaan ini akan kita bahas pada artikel berikutnya.
Blog Post Lainnya
Hubungi kami
08113310081
support@glimpse.group
Berita Newsletter
`Berlangganan
@2025 glimpse-inc Inc.