
Sejak hari Rabu 23 Oktober 2024, muncul berita dari beberapa media terkait dengan rencana diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) untuk menghapuskan utang jutaan petani dan nelayan. Di kalangan investor, berita ini tentu menimbulkan kekhawatiran terutama untuk bank yang memiliki portfolio kredit UMKM (contoh: BBRI). Investor khawatir apakah Perpres ini bisa menjadi celah bagi debitur untuk lari dari tanggung jawabnya sehingga ke depannya bank harus menelan kerugian yang signifikan akibat Perpres ini. Well, coba kita bahas lebih dalam terkait dengan isu ini.
Bukan investor sejati namanya kalau baru liat headline berita aja udah kebakaran jenggot. Untuk itu pertama-tama kita perlu mendalami terlebih dahulu konteks dari berita yang beredar. Berdasarkan berita yang berjudul “Prabowo Bakal Terbitkan Perpres untuk Hapus Utang 6 Juta Petani dan Nelayan” dari Kompas.com, rupanya statement ini diutarakan oleh Bapak Hashim Djojohadikusumo selaku Ketua Dewan Penasihat Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan juga adik kandung dari Presiden Prabowo Subianto.
Sebenarnya Bapak Hashim sudah memberikan statement yang cukup jelas terkait dengan skema dari Perpres ini. Jadi, utang yang akan dihapuskan ini merupakan utang lama (bahkan katanya ada yang sejak tahun 1998) yang sebenarnya sudah dihapus buku oleh bank (alias sudah diakui sebagai kerugian) namun masih tercatat di SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan, dulu disebut BI Checking) karena belum dilakukan hapus tagih. SLIK sendiri adalah database yang dikelola oleh OJK untuk mencatat riwayat pinjaman beserta kualitas kredit dari penerima pinjaman ataupun debitur. Akibatnya banyak petani dan nelayan yang tidak bisa mendapatkan dukungan kredit dari bank karena tunggakan mereka ini masih tercatat di SLIK. Harapan ke depannya adalah agar petani dan nelayan yang mendapatkan pemutihan ini tidak lagi mengalami kesulitan ketika membutuhkan pinjaman dari perbankan dan taraf hidupnya bisa menjadi lebih baik.
Pertanyaannya apakah perpres ini serta merta akan membuat laba bank tergerus? Menurut kami jawabannya adalah tidak. Agar dapat memahami mengapa kami bisa berpendapat seperti itu, yuk kita bahas dulu mengenai kualitas kredit di bank.
Kualitas kredit di bank biasanya dikategorikan berdasarkan kolektabilitasnya. Kolektabilitas ini terdiri dari kolektabilitas 1 hingga 5 yang dibedakan berdasarkan jangka waktu tunggakannya. Semakin lama menunggak artinya semakin buruk kualitas kreditnya. Jika kredit memasuki kolektabilitas 3 hingga 5 maka kredit tersebut dikategorikan sebagai NPL.
Ketika memberikan kredit, bank sebenarnya sudah harus mengantisipasi potensi kerugian bila kreditnya menjadi macet dengan menyisihkan sebagian keuntungannya sebagai biaya pencadangan kredit macet atau dalam istilah akuntansi dikenal sebagai “penyisihan kerugian penurunan nilai aset keuangan” atau “provision for impairment losses on financial assets” (provisioning). Namun bila ternyata ke depannya kredit ini terus mengalami penurunan kualitas, maka biaya provisioning yang diakui bank akan semakin besar pula hingga mengurangi laba dari bank tersebut. Akhirnya, bila kredit sudah memasuki kategori “macet” atau biasa disebut “kolek 5” maka biasanya kerugian sudah diakui sebesar 100% dari nilai kredit tersebut.
Lantas apakah kredit yang sudah macet ini akan seterusnya bertengger dalam neraca bank? Tentu tidak. Pada suatu titik tertentu bila bank menilai bahwa kredit macet tersebut sudah tidak lagi memiliki harapan untuk pulih menjadi lancar kembali, maka bank akan melakukan yang namanya hapus buku atau write-off (secara aturan akuntansi, hapus buku hanya bisa dilakukan bila kredit sudah diakui sebagai kerugian sebesar 100%). Namun hapus buku bukan berarti bank berhenti melakukan penagihan, karena bank berupaya melakukan penagihan hingga bank menilai sudah tidak ada lagi peluang untuk melakukan penagihan dan melakukan “hapus tagih”. Sebenarnya setelah dilakukan hapus tagih, riwayat debitur sebenarnya tidak akan langsung hilang dari SLIK hingga masa retensi tertentu dan perlu waktu beberapa tahun hingga “raport merah” ini bisa hilang dari SLIK.
Dari sini sebenarnya bisa terjawab bahwa kemungkinan besar Perpres baru ini tidak serta-merta menjadi kejutan bagi kinerja bank karena fokusnya adalah membereskan utang yang sebenarnya sudah diakui sebagai kerugian. Selain itu, isu moral hazard akibat debitur lari dari kewajibannya sepertinya juga tidak akan signifikan karena sejauh yang kita tahu, hapus tagih pun juga masih memberikan konsekuensi “raport merah” bagi debitur dalam periode waktu tertentu yang memberikan noda pada reputasinya.
Tentu saja perkembangan dari Perpres ke depannya perlu terus kita ikuti untuk mengetahui detail lengkap dari kebijakan ini. Namun dari informasi yang ada hingga saat ini, sebagai investor tentunya kita masih tidak perlu panik.